Alquran dan Hadis sebagai Sumber Hukum Islam
Penulis : Bahrani NIM 1003110306 (KPI) dan Yakin Sholeh NIM. 100 211 0333 (Mahasiswa Jurusan
Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya, Dipresentasikan
dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011 dan semester genap 2012)
dan Diedit kembali oleh Abdul Helim.
Pendahuluan
Pada
makalah ini penulis ingin menguraikan atau menjelaskan sumber hukum Islam, yang
mana sudah kita ketahui sumber Islam yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun Alquran
dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran
yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan
baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan
maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan
masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadis. Oleh karena kita pun harus mengetahui dan
mengenal sumber hukum Islam ini.
Dalam ilmu ushul fikih, ada istilah yang biasa
kita sebut “sumber”, “dalil” dan “metode”. Ketiga istilah sering digunakan
secara tumpang tindih yang akhirnya menimbulkan pengertian yang rancu. Oleh
karena itu pula, sebelum menguraikan tentang Alquran dan hadis, maka yang
diuraikan terlebih dahulu adalah mengenai sumber, dalil dan metode.
Pembahasan
A.
A. Pengertian Sumber, Metode dan Dalil
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (مصدر),
dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau mashdar dapat
diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba
norma hukum. [1]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar adalah suatu
tempat yang dari segala sesuatu ini digali atau diambil. Berdasarkan hal ini,
maka yang paling tepat untuk dikatakan sebagai sumber adalah Alquran dan Hadis.
Selain dari keduanya, tidak dapat disebut sebagai sumber, karena hanya dari
Alquran dan Hadis lah ditemukannya segala norma yang kemudian hanya dari
keduanya lah segala sesuatu diambil.
Adapun metode yang dalam bahasa arabnya (منهج atau طريقة ) bermakna “cara” atau “jalan”. Maksudnya adalah
cara atau jalan untuk melakukan sesuatu baik dalam hal menemukan, menetapkan,
mengkaji atau cara menggali. Karena cara atau jalan ini berkaitan dengan hukum
Islam, maka cara atau jalan tersebut digunakan untuk menemukan hukum Islam.
Cara atau jalan untuk menggali dan menemukan hukum Allah ini, lazimnya disebut
“ushul fikih”, karena ushul fikih sendiri diartikan sebagai ilmu yang
menyajikan berbagai cara atau jalan (kaidah) yang digunakan untuk menggali dan
menemukan hukum Allah tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka teranglah
bahwa yang termasuk metode adalah seperti qiyas, istihsan, ‘urf, mashlahah,
istishab, dzari’ah, qaul shahaby, syar’u man qablana, termasuk juga
kaidah-kaidah yang digunakan untuk memahami hukum Allah melalui kajian
kebahasaan nas Alquran dan hadis) dan melalui kajian maqashid asy-syari’ah.
Beberapa hal yang disebutkan di atas hanya berkedudukan sebagai metode dan
bukan sebagai sumber hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan para pakar ushul fikih
zaman klasik. Dikatakan demikian karena beberapa hal itu berfungsi hanya untuk
digunakan atau dipakai untuk menemukan hukum Allah, bukan mencari norma hukum
di dalamnya sebagaimana Alquran dan hadis.
Dengan demikian telah jelas perbedaan di antara
sumber dan metode, sehingga dengan adanya kejelasan ini, kita sebagai penstudi
tidak lagi “latah” menggunakan kedua istilah itu.
Sedangkan dalil yang berasal dari bahasa Arab (دلّ يدل دليلا، دلاّ،
دلالة diartikan
sebagai petunjuk. Maksudnya sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita
dalam menemukan hukum Allah. [2]
Dikatakan dalam bahasa lain bahwa dalil sesuatu yang dapat kita gunakan untuk
mengarahkan dalam menemukan hukum Allah atau dapat pula kita gunakan untuk
memperkuat hasil galian kita tentang hukum Allah tersebut.
Dalil ditinjau dari asalnya, dalil ada dua
macam:
1. Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal
dari nas langsung, yaitu Alquran dan Hadis.
2. Dalil
aqli, yaitu dalil-dalil yang berasal bukan dari nas langsung, akan tetapi
dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan Al-Sunnah, tetapi prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.[3]
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan Al-Sunnah, tetapi prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.[3]
Berdasarkan pengertian dalil di atas, maka di
sini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah suatu petunjuk dalam menemukan hukum
Allah. Dalil ini dapat berupa nas (Alquran dan hadis) dan dapat pula berupa
rasio, logika atau akal yang digunakan untuk menemukan hukum Allah. Hal ini
menunjukkan bahwa dalil memiliki dua makna yang dapat bermakna sebagai sumber
hukum Islam (Alquran dan Hadis) dan dapat pula bermakna sebagai metode
penggalian hukum Allah yang dikaji melalui ilmu ushul fikih. Dengan demikian,
ketika ada orang mengatakan Alquran dan Hadis merupakan dalil dan ilmu ushul
fikih juga disebut sebagai dalil, maka pendapat tersebut benar.
B.
Alquran sebagai Sumber
Hukum Pertama
1.
Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar
dari kata qa-ra-a (قرأ) se-wazan dengan kata fu’lan (فعلأن), artinya: bacaan; berbicara tentang apa
yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قران
berarti مقرؤ
, yaitu isim maf’ul objek dari kata قرأ.[4]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18;
¨bÎ)$uZøŠn=tã¼çmyè÷Hsd¼çmtR#uäöè%urÇÊÐÈ#sŒÎ*sùçm»tRù&ts%ôìÎ7¨?$$sù¼çmtR#uäöè%ÇÊÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu.
Arti Alquran secara terminology ditemukan dalam
beberapa rumusan defenisi sebagai berikut:
1. Menurut Syaltut, Alquran adalah; lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw., dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Sesungguhnya
Alquran ini memberikan petunjuk kapada (jalan) yang lebih lurus.
2. Al-Syakauni mengartikan Alquran dengan; Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tertulis dalam mushaf,
dinukilkan secara mutawatir.
3. Dafenisi Alquran yang dikemukakan Abu Zahrah
ialah; Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
4. Menurut al-Sarkhisi, Alquran adalah; Kitab yang
diturunkan kapada Nabi Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan
huruf yang tujuh masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5. Al-Amidi memberi defenisi Alquran; Al-kitab
adalah Alquran yang diturunkan.
6. Ibn Subki mendefenisikan Alquran; lafaz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., mengandung mukzijat setiap suratnya, yang
beribadah membacanya.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi
di atas dan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik
suatu rumusan mengenai definisi Alquran, yaitu; lafaz berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang dinukilkan secara mutawatir.[5]
2. Kehujjahan Alquran
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum
muslimin tentang Alquran itu sebagai Argumentasi yang kuat bagi mereka dan
bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu datang dari sisi Allah.
Sebagai bukti bahwa Alquran itu datang dari
sisi Allah ialah ketidaksanggupan orang-orang membuat tandingannya, biar mereka
itu adalah sastrawan sekalipun.
Ketika Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau
diperintahkan oleh Allah agar menjelaskan kepada orang banyak perihal Alquran
dan bahwa ia adalah diluar batas kemampuan manusia.
@è%ÈûÈõ©9ÏMyèyJtGô_$#ߧRM}$#`Éfø9$#ur#’n?tãbr&(#qè?ù'tƒÈ@÷VÏJÎ/#x‹»ydÈb#uäöà)ø9$#Ÿwtbqè?ù'tƒ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/öqs9uršc%x.öNåkÝÕ÷èt/<Ù÷èt7Ï9#ZŽÎgsßÇÑÑÈ
Artinya;
Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al
Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan
kepada Nabi Muhammad bahwa beliaulah yang membuat Alquran itu. Kemudian Allah
memerintahkan menantang mereka dalam firmanNya;
÷Pr&tbqä9qà)tƒçm1uŽtIøù$#(ö@è%(#qè?ù'sù;ou‘qÝ¡Î/¾Ï&Î#÷VÏiB(#qãã÷Š$#urÇ`tBOçF÷èsÜtGó™$#`ÏiBÈbrߊ«!$#bÎ)÷LäêYä.tûüÏ%ω»|¹ÇÌÑÈ
Artinya:
Atau (patutkah)
mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."[6]
3. Hukum-Hukum yang terkandung dalam Alquran
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana
telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang mengandung
hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
berbuat, dan ketentuan yang diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan
manusia, baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam hubungannya dengan
manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Alquran
dapat dibahi tiga macam.
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah Swt. Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari
sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum
I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.
2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan
manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk
yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini
disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3. Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk
manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam
hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan
atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya
dikembangkan “ilmu Akhlak”.[7]
4. Dalalah
Alquran
Yang
dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian
dari nas ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada
pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan
bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nas dapat dipahami.
Dalam
kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nas apakah pengertian yang ditunjukkan
oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama’ ushul
menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’i dan
zhanny. [8]
a.
Nas yang qath’i
dalalahnya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara
tertentu, tidak ada kemungkinan dita’wilkan, Seperti firman Allah
SWT:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur ÇÊËÈ….
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak….. (QS>An-Nisa 4:12)
Ayat tersebut adalah qath’i dalalahnya. Artinya
bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
b.
Nas yang
zhanny dalalahnya ialah nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk
dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain, Seperti
firman Allah SWT:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ÇËËÑÈ….
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) t iga kali
quru'… ((QS>Al-Baqarah 2:228)
Padahal lafadaz “quru” itu dalam bahasa Arab
mempunyai dua arti yaitu suci dan haid. Maka ada kemungkinan bahwa yang
dimaksud ayat tersebut tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti
dhanni (tidak pasti) dalalahnya atas satu makna dari dua makna tersebut.[9]
C. Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua
1. Pengertian
Hadis
Sunnah atau hadis artinya adalah cara yang
dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah
perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat
yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi
dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah
Taqriryah (ketetapan).[10]
2. Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits
dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a. Hadits mutawatir
Hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka
mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.
1) Pembagian hadits mutawatir
-
Mutawatir
lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan
maknanya dari setiap rawi.
-
Mutawatir
maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi
didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.[11]
b. Hadits ahad
Hadits
ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan
hadits mutawatir.[12]
Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
a. Pembagian hadits ahad
-
Hadits
shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan
dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat
yang memburukkan.[13]
-
Hadits
hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil
yang kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang
memburukkan.[14]
-
Hadits
dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat
hadits shahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat.[15]
3. Kedudukan dan kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah
wal jama’ah), ulamak tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah
Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu. kekuatannya sama
dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan
mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari
Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak
mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka
hanya mengakui sahnya suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh
imam-imam dan ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka
masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menurut kriteria ilmu hadits.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., diantaranya:
!$tBurãNä39s?#uäãAqß™§9$#çnrä‹ã‚sù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù
Artinya;
apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah.(QS.Al-hasyr:7)
$pkš‰r'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãè‹ÏÛr&©!$#(#qãè‹ÏÛr&urtAqß™§9$#
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), (QS. An-Nisa: 59).
`¨BÆìÏÜãƒtAqß™§9$#ô‰s)sùtí$sÛr&©!$#(`tBur4’¯<uqs?!$yJsùy7»oYù=y™ö‘r&öNÎgøŠn=tæ$ZàŠÏÿymÇÑÉÈ
Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka. (QS.
An-Nisa: 80).[16]
4. Hubungan Hadits dan Alquran
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama
seperti definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada
Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat
fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama
ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad
saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan
taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari
segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari
wahyu Al-Quran.[17]
Adapun
fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun
fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung
di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.
Menguatkan
(mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
b.
Memberikan
keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
c.
Menciptakan
hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.
Penutup
Dalil adalah sesuatu yang diambil
daripadanya hokum syara’ mengenai perbuatan manusia. Istilah adillah al-ahkam
dan al-mashadir al-tasyri’iyah lil-ahkam adalah istilah-istilah dengan makna
yang sama yang dalam bahasa Indonesianya sering diterjemahkan dengan
dalil-dalil hukum Islam, dasar-dasar
hukum Islam dan suber-sumber hukum Islam.
Alquran ialah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab
dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam
mendakwahkan kerasulanNya dan sebagai pedoman bagi manusia yang dapat digunakan
untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya. As-sunnah Al-Qauliyah adalah
(hadis) ialah hadis-hadis yang berupa
ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar