Bai’at
dan Kedudukannya Dalam Islam |
May 26, '08 10:29 AM untuk semuanya |
Oleh: Farid Nu’man
Mukadimah
Kita patut bergembira atas bergairahnya kehidupan
berislam hari ini, di pelosok dunia, termasuk di negeri kita baik
desa maupun kota , kesadaran beragama menunjukkan kemajuan. Walau
kita akui, kekuatan kejahiliyahan juga mengalami peningkatan.
Hal ini ditunjukkan oleh maraknya acara-acara keislaman
di sekolah-sekolah, berbagai kajian keislaman di kampus-kampus dan
perkantoran, gelombang jilbabisasi, kesadaran terhadap ekonomi
syariah, keinginan yang tinggi untuk menerapkan syariat Islam,
dan maraknya kelahiran kelompok-kelompok keislaman yang hendak
memperjuangankan Islam.
Di tengah rasa syukur tersebut, terbersit juga rasa
khawatir, yakni ketika semangat beragama tidak dibarengi oleh ilmu
yang memadai yang akhirnya justru membawa kerusakan dibanding
manfaat. Di antaranya adalah sikap saling menyerang sesama aset
umat, sesama aktifis Islam, hanya karena tidak sejalan, sepemikiran,
dan beda kelompok.
Fitnatut Takfir
(fitnah pengkafiran) ini sering dilakukan oleh orang atau kelompok
muslim yang memiliki pemahaman agama secara tidak utuh (juz’i),
dalam menyikapi berbagai teks agama. Di antaranya adalah pemahaman
yang tidak utuh terhadap bai’at.
Kita melihat, ada dua kelompok umat ini yang telah bersikap zalim
terhadap bai’at. Pertama, ada di antara mereka yang
menyalahgunakan bai’at, menjadikan bai’at sebagai upaya
mensucikan diri sendiri dan mengkafirkan orang lain yang belum
berbai’at dengan pemimpinnya. Kedua, ada pula di antara umat Islam
yang sama sekali anti bai’at, bahkan sangat alergi dan ketakutan
dengan istilah ini. Keduanya sama-sama keliru, tidak seimbang dan
keluar dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamah yang pertengahan.
Penulis
Syarh al Aqidah al Wasithiyah
mengatakan, “Umat Islam adalah pertengahan antara agama-agama
(milal), sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
“Dan kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (umatan
wasathan).” (QS. Al Baqarah:143), sedangkan Ahlus Sunnah adalah
pertengahan antara firaq
(kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam. (Said
bin Ali bin Wahf al Qahthany, Syarh al
Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah,
hal.48. muraja’ah.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin. Cet.2, Rabiul Awal 1411H.
Penerbit: Ri-asah Idarat al Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad
Da’wah wal Irsyad)
Lalu
bagaimanakah sebenarnya bai’at itu?
Definisi
(Arti)
1.
Secara Bahasa ٍ
A.
البيعُ
ضدّ الشراء والبَيْع الشراء أَيضاً (Al
Bai’u (menjual), lawan dari membeli
(Asy Syira’) dan juga berarti jual beli) (Lisanul
‘Arab, Juz. 8, Hal. 23. Al Maktabah As Syamilah)
B.
التولية
و عقدهاAt Tauliyah wa
‘aqduha artinya menjadikannya sebagai wali (pemimpin) dan ikatan
terhadapnya (Munjid
Fil Lughah wal A’lam, Hal. 57)
C. Perjanjian
dan saling bersepakat, dikatakanبايَعه
عليه مُبايَعة (baaya’ahu
‘alahi mubaaya’atan) yakni saling mengadakan perjanjian.
(Lisanul ‘Arab,
Juz. 8, hal. 23. Al Maktabah Asy Syamilah)
2. Makna
Menurut Syariat
Imam
Ibnu Khaldun berkata: “Ketahuilah
bahwasanya bai’at
adalah berjanji dalam ketaatan, seakan seorang yang berbai’at
tidak akan menentang sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam
semua perkara yang dibebankan baik dalam keadaan giat maupun malas.
Dan mereka ketika berbai’at kepada seorang pemimpin serta
mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan mereka dalam tangannya
sebagai penguat atas janji mereka, yang demikian itu sama dengan
perilaku penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang
merupakan bentuk masdar dari baa’a, sehingga proses bai’at
akhirnya selalu dilakukan dengan berjabat tangan. Inilah landasan
bai’at dalam dalam konteks bahasa dan syari’at sebagaimana yang
dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz ini juga tampak dalam
beberapa riwayat di antaranya bai’atul Khulafa (pembaiatan para
pengganti Rasulullah) dan Aimaanul Bai’ah (sumpah setia bai’at)
seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam janji
dan mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah
untuk baiat itu, pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan
sebutan Aimaanul Bai’ah.” (Imam Ibnu
Khaldun, Muqaddimah,
Hal. 229)
Hukum
Bai’at
Tidak ragu lagi bai’at memiliki masyru’iyah
(pensyariatan) yang kuat di dalam Islam. Bai’at merupakan salah
satu proses penting dari pengangkatan seorang pemimpin di dalam
Islam, baik kepemimpinan kubra (Khalifah) atau sughra (selain
khalifah). Hal ini di tunjukkan oleh berbagai dalil sebagai berikut.
Allah Ta’ala berfirman:
¨bÎ)
šúïÏ%©!$#
y7tRqãè΃$t6ãƒ
$yJ¯RÎ)
šcqãè΃$t7ãƒ
©!$#
߉tƒ
«!$#
s-öqsù
öNÍk‰É‰÷ƒr&
4 `yJsù
y]s3¯R
$yJ¯RÎ*sù
ß]ä3Ztƒ
4’n?tã
¾ÏmÅ¡øÿtR
( ô`tBur
4’nû÷rr&
$yJÎ/
y‰yg»tã
çmø‹n=tæ
©!$#
Ïm‹Ï?÷sã‹|¡sù
#·�ô_r&
$VJ‹Ïàtã
ÇÊÉÈ
Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka,
Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
(QS. Al Fath : 10)
Pada
bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta
pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan
'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama
ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus
Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud
kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya
Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum
musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh.
karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah
(janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada
Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai
kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah
sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut
Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin,
sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk
Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini
terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Orang
yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji
setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan
orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka
ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan
berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan
orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah
Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
وَمَنْ
مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ
مَاتَ
مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada
bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR.
Muslim, Juz. 9, Hal. 393, No. 3441. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits
ini menunjukkan kewajiban berbai’at jika telah ada imamatul
‘uzhma yakni khalifah bagi seluruh umat Islam, bukan amir sebuah
jamaah yang umat Islam secara umum tidak mengenalnya.
Mati
Jahiliyah = Kafir?
Banyak manusia dan kelompok Islam teracuni pemikiran
takfir (mudah
mengkafirkan) gara-gara permasalahan ini. Hal ini terjadi karena
penafsiran mereka yang keliru dan menyimpang terhadap makna
hadits tersebut, dan tidak merujuk kepada penafsiran para Ahli,
yakni para ulama, tapi merujuk tafsiran guru ngaji mereka dan bujuk
rayuan yang membius.
Kita lihat, apa sih
makna miitatan jahiliyah
(mati dalam keadaan jahiliyah) dalam hadits tersebut. Apakah orang
yang belum berbai’at lalu dia mati, matinya terhukum kafir.
Sebagaimana sangkaan sebagian kelompok?
Saya akan kutip syarah (penjelasan) yang dilakukan
bebeapa imam terpercaya umat ini, di antaranya Al
Imam An Nawawi dalam Syarah-nya
atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan
jahiliyah berikut:
هِيَ
بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ :
عَلَى
صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى
لَا إِمَام لَهُمْ
Dengan huruf mim
dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian
mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada
masa jahiliyah). (Syarah
An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 322, No. 3436. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Sekarang penjelasan Imam
Asy Syaukani
dalam Nailul
Authar ,sebagai
berikut:
وَالْمُرَادُ
بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ
بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ
فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ
لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا
لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ
الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ
يَمُوتَ عَاصِيًا .
Dan
yang dimaksud dengan miitatan
jahiliyah dengan
huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti
matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam
yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan
bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang
bermaksiat. (Imam
Asy Syaukani, Nailil Authar, Juz. 11, Hal. 399. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Saya kutipkan Fatwa Lajnah
Da’imah (Komisi Tetap Fatwa) di Saudi
Arabia , tentang makna hadits di atas:
ومعنى
الحديث:
أنه
لا يجوز الخروج على الحاكم (ولي
الأمر)
إلا
أن يرى منه كفرًا بواحًا، كما جاء ذلك في
الحديث الصحيح، كما أنه يجب على الأمة
أن يؤمروا عليهم أميرًا يرعى مصالحهم
ويحفظ حقوقهم.
“Makna hadits
tersebut: bahwa tidak boleh keluar dari kepemimpinan Al hakim
(waliyul amri - pemimpin) kecuali jika dilihat dari pemimpin itu
perilaku kufur yang jelas, sebagaimana diterangkan hal itu dalam
hadits shahih, sebagaimana wajib pula bagi umat untuk mengangkat
amir (pemimpin) bagi mereka supaya terjaga maslahat mereka dan
hak-hak mereka.” (Al
Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’, Juz. 6, Hal,
323, No fatwa. 8225)
Dengan demikian, jika ada umat Islam yang tidak
berbai’at kepada khalifah yang sah, maka jika dia mati, matinya
seakan manusia jahiliyah yang dahulu tidak miliki imam, dan
bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Bukan kafir sebagaimana tuduhan
sebagian manusia. Itu pun jika berbai’at kepada khalifah yang sah
dan diakui seluruh dunia Islam, lalu bagimana dengan pemimpin sebuah
kelompok dari umat Islam, yang kita tidak mengenalnya? Tentu
berbai’at kepada mereka tidak wajib!
Kepada
Siapa Kita Wajib Berbai’at?
Sebelumnya, akan saya bagi dulu, bahwa kepemimpinan
dalam Islam ada dua macam.
1.
Imamah Al
Kubra,yakni Khalifah yang memimpin seluruh umat Islam.
2.
Imamah Al Sughra,
yakni pemimpin selain itu seperti pemimpin rombongan haji (Amirul
Haj), pemimpin dalam safar, pemimpin dalam jihad, pemimpin dalam
organisasi. Dalil untuk ini sangat banyak.
Imamah
Al Kubra
Kepada pemimpin yang menaungi seluruh umat Islam, maka
bai’at hukumnya wajib
berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim di atas. Dan penjelasan atas
hadits tersebut sudah kami paparkan. Namun,
apakah saat ini ada khalifah yang menaungi seluruh umat Islam?
Jawabannya: tidak! Karena itu, bai’at jenis ini, untuk realita
saat ini belum bisa dijalankan, karena ketiadaan khalifah. Yang
mejadi kewajiban kita saat ini adalah bahu-membahu agar kekhilafahan
kembali terwujud. Bagaimana bisa bai’at, khalifahnya saja belum
ada?
Maka, pemikiran yang mengkafirkan sesama umat Islam
sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam –semoga
Allah meluruskan mereka- dengan alasan umat Islam saat ini belum
berbai’at kepada pemimpin mereka, adalah pemikiran yang keliru,
menyimpang, bahkan menyesatkan. Mereka telah mewajibkan yang Allah
Ta’ala tidak wajibkan. Tidak memiliki dasar dan pijakan atas Al
Quran dan As Sunnah, perjalanan sejarah Islam, dan pandangan para
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Berkata Al Imam Abul hasan al Mawardi dalam kitabnya Al
Ahkam As Sultahniyah:
الْإِمَامَةُ
مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ
فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ
الدُّنْيَا ، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ
بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
“Al Imamah (kepemimpinan) merupakan tema yang
diadakan dalam rangka mengambil peran kenabian dalam upaya menjaga
agama dan mengatur dunia. Menegakkan kepemimpinan bagi siapa yang
mampu melakukannya untuk umat adalah wajib
menurut ijma’ (kesepakatan).” (Al
Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 3. Al Maktabah Asy Syamilah)
Nah, sekarang kita harus tahu bagaimana kriteria
seorang khalifah? Hal ini penting saya sampaikan agar
kelompok-kelompok Islam itu mau menyadari kekeliruan mereka. Bahwa
pemimpin yang mereka anggap khalifah itu, bukan
khalifah sesungguhnya, hanya sekedar
pemimpin jamaah saja.
Demikian ini syarat-syarat Khalifah:
وَأَمَّا
أَهْلُ الْإِمَامَةِ فَالشُّرُوطُ
الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمْ سَبْعَةٌ :
أَحَدُهَا
:
الْعَدَالَةُ
عَلَى شُرُوطِهَا الْجَامِعَةِ .
وَالثَّانِي
:
الْعِلْمُ
الْمُؤَدِّي إلَى الِاجْتِهَادِ فِي
النَّوَازِلِ وَالْأَحْكَامِ .
وَالثَّالِثُ
سَلَامَةُ الْحَوَاسِّ مِنْ السَّمْعِ
وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ لِيَصِحَّ
مَعَهَا مُبَاشَرَةُ مَا يُدْرَكُ بِهَا
.
وَالرَّابِعُ
:
سَلَامَةُ
الْأَعْضَاءِ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ عَنْ
اسْتِيفَاءِ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةِ
النُّهُوضِ .
وَالْخَامِسُ
:
الرَّأْيُ
الْمُفْضِي إلَى سِيَاسَةِ الرَّعِيَّةِ
وَتَدْبِيرِ الْمَصَالِحِ .
وَالسَّادِسُ
:
الشَّجَاعَةُ
وَالنَّجْدَةُ الْمُؤَدِّيَةُ إلَى
حِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَجِهَادِ
الْعَدُوِّ .
وَالسَّابِعُ
:
النَّسَبُ
وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنْ قُرَيْشٍ
لِوُرُودِ النَّصِّ فِيهِ وَانْعِقَادِ
الْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ ، وَلَا اعْتِبَارَ
بِضِرَارٍ حِينَ شَذَّ فَجَوَّزَهَا
فِي جَمِيعِ النَّاسِ ، لِأَنَّ أَبَا
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ احْتَجَّ يَوْمَ السَّقِيفَةِ
عَلَى الْأَنْصَارِ فِي دَفْعِهِمْ عَنْ
الْخِلَافَةِ لَمَّا بَايَعُوا سَعْدَ
بْنَ عُبَادَةَ عَلَيْهَا بِقَوْلِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ {
الْأَئِمَّةُ
مِنْ قُرَيْشٍ }
فَأَقْلَعُوا
عَنْ التَّفَرُّدِ بِهَا وَرَجَعُوا
عَنْ الْمُشَارَكَةِ فِيهَا حِينَ
قَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ
أَمِيرٌ تَسْلِيمًا لِرِوَايَتِهِ
وَتَصْدِيقًا لِخَبَرِهِ وَرَضُوا
بِقَوْلِهِ :
نَحْنُ
الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ
، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
{ قَدِّمُوا
قُرَيْشًا وَلَا تَقَدَّمُوهَا }
.
وَلَيْسَ
مَعَ هَذَا النَّصِّ الْمُسَلَّمِ
شُبْهَةٌ لِمُنَازِعٍ فِيهِ وَلَا قَوْلٌ
لِمُخَالِفٍ لَهُ .
Ada pun syarat-syarat Imamah yang
legal, yang harus ada pada mereka ada tujuh:
1.
Adil dengan syarat-syaratnya yang menyeluruh
2.
Berilmu yang membuatnya dapat berijtihad
terhadap permasalahan dan hukum-hukum
3.
Sehatnya inderawi (telinga, mata, dan mulut),
yang dengan itu dia bias langsung menangani permasalahan yang telah
diketahuinya
4.
Sehat organ tubu dari cacat yang bias
menghalanginya bertindak secara sempurna dan cepat
5.
Pandangan yang luas yang dengannya mampu
memimpin rakyat dan mengurus kemaslahatan mereka
6.
Berani dan berwibawa, yang dengannya dia mempu
melindungi wilayah Negara dan mampu melawan musuh
7.
Keturunan dari Quraisy
berdasarkan nash-nash yang ada dan ijma’ (kesepakatan) ulama. Kita
tidak perlu hiraukan kerusakan yang disampaikan dengan pendapat yang
janggal yang membolehkan imamah (khalifah) dipegang oleh
setiap orang. Karena Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu meminta kaum
Anshar (bukan Quraisy) yang telah mebai’at Sa’ad bin Ubadah
untuk mundur dari jabatan imamah (khalifah) pada peristiwa
saqifah, karena Abu
Bakar berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam:
“Pemimpin-pemimpin
itu berasal dari Quraisy.”
Kemudian
kaum Anshar mengurungkan keinginan terhadap jabatan khalifah dan
mundur darinya. Mereka berkata: “ Para gubernur dari kami, dan
pemimpin dari kalian.” Mereka menerima riwayat dari Abu
Bakar dan membenarkan informasinya. Mereka menerima dengan lapang
dada ucaoan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, “ Para pemimpin berasal
dari kami, sedangkan menteri-menteri berasal dari kalian.”
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dahulukanlah
Quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya.”
Terhadap
nash yang kuat ini, kita tidak menerima pengaburan dan pendapat
orang yang menentangnya. (Imam Abul Hasan al Mawardi, Al
Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 5. Al Maktabah As Sulthaniyah)
Sekarang
bandingkan kriteria khalifah di atas, dengan ‘khalifah’
jadi-jadian zaman sekarang. Mereka majhul (tidak dikenal
identitasnya, nama, kecerdasan, keberanian, fisiknya, bahkan bisa
jadi tetangganya sendiri tidak tahu kalau dia itu dianggap
‘khalifah’ oleh jamaahnya sendiri, dan ditambah lagi dia bukan
Quraisy). Dari sini maka jelaslah kesalahan yang dilakukan
jamaah-jamaah tersebut. Seandainya satu saja yakni syarat ketujuh,
mereka bukan orang Quraisy tetapi orang Indonesia , sudah cukup
untuk menyingkap kekeliruan (bahkan kebohongan mereka). Maka
tertipulah orang-orang awam yang masuk ke dalamnya …
Imamah
Ash Shughra
Yakni kepemimpinan tidak setaraf khalifah. Seperti
pemimpin haji, jihad, perjalanan, organisasi, jamaah, atau direktur,
kepemimpinan seperti ini diakui keberadaannya oleh syariat, karena
mereka hakikatnya bukanlah negara di dalam Negara. Kita mengetahui
bahwa pegawai ketika awal memasuki masa kerja pun memiliki sumpah
jabatan, yang hakikatnya adalah bai’at. Nah, bai’at kepada
mereka hukumnya mubah, bukan wajib.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan pengakuan syariat atas
kepemimpinan Ash Shughra ini, yakni:
وَرُوِيَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ :
{ الْمُضْعَفُ
أَمِيرُ الرُّفْقَةِ }
يُرِيدُ
أَنَّ مَنْ ضَعُفَتْ دَابَّتُهُ كَانَ
عَلَى الْقَوْمِ أَنْ يَسِيرُوا بِسَيْرِهِ
.
Dan diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, bahwa dia bersabda: “Yang dianggap
lemah adalah menjadi pemimpin bagi teman seperjalanan.”
Maksudnya: barangsiapa yang membawa
kendaraan hewan yang lemah, hendaknya manusia berjalan mengikuti
jalannya hewan tersebut. (Ibid, Hal. 59)
Hadits di atas berbicara tentang pengangkatan pemimpin
dalam perjalanan.
Adapun tentang Amirul Haj (pemimpin haji) Imam Abul
Hasan al Mawardi berkata:
هَذِهِ
الْوِلَايَةُ عَلَى الْحَجِّ ضَرْبَانِ
:
أَحَدُهُمَا
أَنْ تَكُونَ عَلَى تَسْيِيرِ الْحَجِيجِ
.
وَالثَّانِي
:
عَلَى
إقَامَةِ الْحَجِّ ، فَأَمَّا تَسْيِيرُ
الْحَجِيجِ فَهُوَ وِلَايَةُ سِيَاسَةٍ
وَزَعَامَةٍ وَتَدْبِيرٍ .
وَالشُّرُوطُ
الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْمُوَلَّى :
أَنْ
يَكُونَ مُطَاعًا ذَا رَأْيٍ وَشَجَاعَةٍ
وَهَيْبَةٍ وَهِدَايَةٍ .
Kepemimpinan haji ini ada
dua wewenang: Pertama, memudahkan para jamaah haji. Kedua,
menyelenggarakan haji. Adapun memudahkan para jamaah haji itu
merupakan kekuasaan poltik dan kepemimpinan. Syarat yang harus
ada pada amirul
haj agar dia
ditaati adalah cerdas, berani, berwibawa, dan memiliki kemampuan
untuk membimbing. (Ibid,
Hal. 193)
Nah, dari dua contoh ini
jelaslah bahwa Imamah Ash Shughra memang diakui syariat Islam.
Namun, bai’at kepada mereka bukan wajib syariat, melainkan boleh
boleh saja. Sekali pun wajib, itu hanyalah kewajiban yang sifatnya
administratif organisasi, seperti kontrak kerja dengan perusahaan,
pada hakikatnya itu adalah bai’at seorang pegawai terhadap
pimpinan perusahaannya.
Realita
saat ini
Kenyataan hari ini tidak
ada Jama’atul
Muslimin
(Jamaah seluruh kaum muslimin) yang hakiki, yang ada hanyalah jamaah
minal muslimin
(jamaah dari kelompok umat Islam), seperti adanya Ikhwanul Muslimin,
Hizbut Tahrir, Ansharus Sunnah Muhamamdiyah, Nahdhatul Ulama’,
Jamaatul Muslimin (dulunya Hizbullah) dan lain-lain.
Berbai’at kepada mereka dalam rangka beramal
memperjuangkan Islam dan berjihad, boleh-boleh saja, selama tidak
dianggap berbai’at sebagaimana Imamatul Kubra. Namun, demikian
juga tidak ada kewajiban. Tetapi, jika sudah membai’at maka dia
wajib memnuhi tuntutannya yakni memperjuangankan Islam dan berjihad.
Maka, sikap sebagian jamaah yang mengkafirkan jamaah lain karena
tidak membai’at pemimpinnya adalah tindakan keliru, melampaui
batas, dan tidak mamahami syariat, dan membawa benih perpecahan
umat.
Semua itu merupakan
perjanjian (mubaya’ah) antar manusia yang harus ditepati,
dalam rangka ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata:
وَكَذَا
فِي شُرُوطِ الْبُيُوعِ ، وَالْهِبَاتِ
، وَالْوُقُوفِ ، وَالنُّذُورِ ؛ وَعُقُودِ
الْبَيْعَةِ لِلْأَئِمَّةِ ؛ وَعُقُودِ
الْمَشَايِخِ
؛ وَعُقُودِ الْمُتَآخِيَيْنِ ، وَعُقُودِ
أَهْلِ الْأَنْسَابِ وَالْقَبَائِلِ ،
وَأَمْثَالِ ذَلِكَ ؛ فَإِنَّهُ يَجِبُ
عَلَى كُلِّ أَحَدٍ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ ؛
وَيَجْتَنِبَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ فِي كُلِّ شَيْءٍ ؛ وَلَا
طَاعَةَ لِمَخْلُوقِ فِي مَعْصِيَةِ
الْخَالِقِ .
وَيَجِبُ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ،
وَلَا يُطِيعُ إلَّا مَنْ آمَنَ بِاَللَّهِ
وَرَسُولِهِ .
وَاَللَّهُ
أَعْلَمُ .
“Demikian
juga dalam syarat-syarat jual beli, hibah, wakaf, nazdar, baiat
kepada para imam dan para masyayikh
(para tokoh agama), perjanjian
persaudaraan, akad anggota keluarga, suku atau kabilah serta
perkara-perkara yang lain, semua itu
wajib dalam kerangka mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala hal,
serta menjauhi kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebab tidak
ada ketaatan kepada makhluk untuk mendurhakai Khaliq.
Dan wajib mencintai Allah dan RasulNya lebih
dicintainya di atas segalanya. Dan
tidak ada ketaatan kecuali bagi siapa saja yang beriman kepada Allah
dan RasulNya. Wallahu A’lam (Imam
Ibnu Taimiyah, Majmu’
Al Fatawa’,
Juz. 9, Hal. 211. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari keterangan Imam Ibnu Taimiyah ini, menunjukkan
bolehnya berbai’at dan bermu’ahadah kepada selain
khalifah, namun sekedar boleh.
Karena itu, sekali lagi, tidak benar dan melampaui batas jika ada
sekelompok jamaah mengkafirkan umat Islam lainnya yang tidak masuk
dan berbai’at dengan pemimpin kelompoknya.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ
لِأَخِيهِ يَا
كَافِرُ
فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ
كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ
عَلَيْهِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang
berkata kepada saudaranya, “Wahai Kafir,” maka itu akan kembali
kepada satu dari mereka berdua jika benar seperti yang dia katakan,
jika tidak benar maka kekafiran itu kembali kepada yang
mengatakannya.” (HR. Muslim, Juz.1, Hal.
195, No. 92. Ahmad, Juz. 10, Hal. 328, No. 4792. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Wallahu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar