Makalah ilmiah ILMU PENGETAHUAN MODERN DAN AGAMA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perkembangannya, Iptek acap kali
berbenturan atau dibenturkan dengan agama yang berakibat pada kegagalannya
dalam misi kemanusian yang dilandasi pada bingkai humanis , demokratis dan
berkeadilan. Distorsi ini juga dapat dialami oleh profesi pekerjaan sosial
sebagai aktivitas kemanusiaan yang abai terhadap nilai-nilai keagamaan di satu
sisi dan misi kemanusiaan oleh agama
yang tidak dibingkai oleh keilmuan pada sisi yang lain.
Integrasi antara keduanya dalam praktek
pekerjaan sosial merupakan sebuah keharusan sebab pendekatan moderen dan agama
dalam praktek pekerjaan sosial merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat
terpisahkan. Modernitas dan perkembangan zaman telah
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak
positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib
dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan
ekses negativnya terlihat ketika ilmu
pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak
segera puas pada satu penemuan saja.
Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan ideology pun terus menjamur,
selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang
baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis -
empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah
manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri
dengan lahirnya masalah baru yang lebih
kompleks. Dari sanalah kita harus
mengetahui seluk beluk mengenai ilmu
pengetahuan modern dan agama. Makalah ini akan membahas masalah-masalah
mengenai perbedaan pendekatan ilmu pengetahuan modern dan agama, pertentangan
ilmu dan agama, serta sintesis ilmu dan agama.
.2. Identifikasi
Masalah
Terdapat perbedaan
pendekatan antara ilmu dan agama. Selain itu terdapat pula pertentangan antara
Ilmu dan Agama dan Sintesis Ilmu agama. Dari latar belakang diatas, masalah
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Ilmu
pengetahuan modern dan agama
2. Apa
saja perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama
3. Apasaja
pertentangan yang terdapat antara ilmu dan agama
4. Apakah
sintesis ilmu dan agama
1.3 Tujuan
Makalah
ini bertujuan untuk
1. Ilmu
pengetahuan modern dan agama
2. Mengetahui
perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama
3. Memaparkan
pertentangan yang terdapat antara ilmu dan agama
4. Mengetahui
sintesis ilmu dan agama
1.4 Pembatasan
Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah
diatas,masalah dapat dibatasi sebagai berikut.
1. Ilmu
pengetahuan modern dan agama
2. Perbedaan
pendekatan Ilmu dan agama
3. Pertentangan
antara ilmu dan agama
4. Sintesis
ilmu dan agama
1.5 Sistematika
Penulisan
Agar makalah ini
dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisikan
latar belakang mengenai pengertian dan perbedaan ilmu dan agama, identifikasi
masalah mengenai ilmu pengetahuan modern dan agama, tujuan dibuatnya makalah,
pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI
Kajian Teori berisikan
pengertian dan perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama, pertentangan Ilmu dan Agama, serta Sintesis
ilmu dan agama.
BAB III KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan dan saran
merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan
serta saran-saran.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama
Ilmu
pengetahuan modern memandang sifat,metode,struktur sain,dan agama jauh
berbeda,kalau tidak mau dikatakan kontradiktif Agama mengasumsikan atau melihat
suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya) sedangkan sain
meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya).Agama melihat
problematia dan solusinya melalui petunjuk Tuhan,sedangkan sains melalui
eksperimen dan ratio manusia.Karena ajaran agam diyakini sebagai petunjuk
Tuhan,kebenarannya dinilai mutlak,sedanghkan kebenaran sains bersifat
relatif.Agama banyak berbincang tentang yang gaib,sementara sains hanya berbicara
mengenai hal yang empiris(Poejawijatna,1983:62-73; Hatta,1979:40-41 ;dan
Russel,1953:7-18) .
Menurut
pandangan umum,pengetahuan ilmiah bersifat relatif,berubah dari waktu
kewaktu,sedangkan pengetahuan agama bersifat absolut dan dogmatis.Anggapan ini
akan memperbesar jurang pemisah antara ilmu dan agama.Auguste Comte (1789-1857)
memandang tahap berfikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam
perkembangan pemikiran masyarakat.Menurutnya cara berfikir teologis berusaha
mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi,seperti sebab
pertama dan terakhir segala sesuatu,sedangkan tahap berfikir positif adalah
tahap yang paling maju.Salah satu arti positif itu menurut Comte adalah yang
relatif,tidak yang absolut.Masyarakat yang berfikir positif adalah masyarakat
yang berpaham bahwa pengetahuan yang benar adalah yang didapatkan dari motode
ilmiah,yaitu pengetahuan yang didasarkan kepada fakta,serta dapat ditinjau dan
diuji lagi (Veeger,1986:17).
Kemajuan
dunia barat bermula dari keberhasilannya mendobrak dominasi dominasi gereja
dalam bidang ilmu pengetahuan dan tata hidup bermasyarakat.Dalam perebutan
pengaruh antara ilimu teknologi dan negara disatu pihak dengan gereja dilain
pihak munculah paham sekuler dalam pengembangan ilmu dan budaya.Gereja secara
khusus dan agama secara umum dipisahkan dari arena ilmu,teknologi dan penataan
kehidupan bermasyarakat.Wewenang dan ruang lingkup agama adalah hubungan
pribadi antara manusia denga Tuhannya,sedangkan wewenang dan ruang lingkup ilmu
dan negara adalah segala fenomena kehidupan empiris,pengolahan alam dan tata
kehidupan sosial.Populerlah adanya dua macam kehidupan,yaitu kehidupan beragama
dan kehidupan duniawi.Demikian pula ilmu pengetahuan,ada ilmu – ilmu agama dan
ada pula ilmu-ilmu umum.
Teologi
pembebasan (liberation theologi) yang lahir di Amerika Latin yang merasa paling
dalam dan langsung dalam cengkeraman kapitalisme dan Neo-liberalisme AS. Dan
baru-baru ini, dengan mengusung teologi pembebasan, Hugo berhasil terpilih
menjadi Presiden Chili yang memakai gaya politik yang berbeda dengan Hugo
Chavez dari Venezuela dan Evo Morales
dari Bolivia yang lebih kiri-radikal dan Marxis itu
dari Bolivia yang lebih kiri-radikal dan Marxis itu
2.2 Perbedaan
Pendekatan Ilmu Pengetahuan dan Agama
Membicarakan dua kontinum yan berbeda dari dua sisi yang berbeda pula bukanlah
perkara yang sederhana. Pertama, ilmu-ilmu sosial merupakan suatu kontinum yang
berkembang dari trdisi positivisme, empirisisme dan rasionalisme.
Pandagan-pandangan ini berakar dari filsafat materialisme dan naturalisme. Inti
pandangan positivisme adalah bahwa sains hanya berurusan dengan gejala-gejala
atau pengalaman yang dapat diamati (Raharjo dalam Abdullah & Karim, 1989).
Sebaliknya, agama merupakan fenomena yang dipandang sebagai system ilahiah (divine
system), yang menurut Durkheim dibagi dalam keyakinan (beliefs) dan
pengamalan (practices).
Kedua, meskipun setiap penelitian mensyaratkan adanya metode yang ketat, yang
secara disiplin berpegang teguh pada aturan-aturan tertentu agar mencapai hasil
yang obyektif, kemudian membatasi kekeliruan atas kesalahan dalam megumpulkan
data, dan adanya keharusan mempublikasikan hasil penelitian untuk diuji (Ary,
Jacobs & Razavivieh, 1985; Nasution, 1988). Namun demikian, pendekatan
kuantitatif denagn kualitatif merupakan pendekatan yang berbeda (Bogdan &
Taylor, 1975; Patton, 1980). Perbedaan yang mendasar di antara keduanya
terdapat pada paradigama yang digunakan (Patton, 1980).
Paradigma menurut Paton (1980) merupakan suatu pandangan, suatu perspektif umum
atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan
arti dan penafsiran. Pengertian ini menunjukkan bahwa paradigma bukan hanya
sekedar orientasi metodologi melainkan juga membicarakan perspektif, asumsi
yang mendasari, generalisasi-generalisasi, nilai, keyakinan, atau suatu "disciplinary
matrix" yang kompleks (Khun dikutip Soegiyanto, 1989).
Menurut Soegiyanto (1989)perbedaan antara paradigma kuantitatif denga
kualitatif dapat dilihat pada argumentasi klasik dalam filsafat realismedan
idealisme. Pertnayaan dipusatkan pada hubungan antara dunia luar dengan proses
mengetahui.
Jika perkembangan sains pada abad 15 dan 16 didasarkan pada aliran realisme
atau logico-positivism, maka pada abad 18 dan 19 terjadi perubahan sosial
yang mempertanyakan logika dan metode sains untuk memahami manusia dan
dunianya.pertentangan dalam dasar filsafat tentang sifat kehidupan sosial
inilah yang sesungguhnya membedakan paradigma kuantitatif dengan kualitatif.
Paradigma kuantitatif dalam memandang kehidupan sosial memprgunakan
asumsi-asumsi mekanistik dan statistic dari aliran positivisme ilmu kealaman
sebagaimana dikemukakan oleh Sjoberg dan Nett (1966) didasarkan pada asumsi
bahwa:
(1) ilmuan memperoeh ilmu
pengetahuan obyektif tentang dunia fisik maupun sosial secara otomatik;
(2) ilmu a lam maupun sosial dasar
metodologisnya sama buakn karena persamaan factor subyek melainkan keduanya
mempertguanakan logka penyelidikan yan sama dan prosedur penelitian yan sama
pula;
(3) baha susunan alam dan sosial
bersifat mekanistik.
Sedankan paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistic untuk memahami
realitas sosial para idealis. Kehidupan sosial dipandang sebagai kreativitas
bersama individu-individu. Kemudian, dunia sosial daingap tidaklah statis
tetapi dinamis (Popper, 1980). Paradigma kualitatif mengasumsikan bahwa
realitas itu bersifat ganda dan kompleks, satu sama lainnya saling berkait
sehinga merupakan kesatuan yang bulat dan bersifat holistic (Patton, 1980).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kualiatif dan
kuantitatif bukan hanya sekedar dibedakan dalam cara pengumpulan dan pengolahan
datanya, malinkan keduanya berbeda secara konseptual dalam "melihat
dunia". Paradikma kuantitatif melihat dunia sebagai suatu kebulatan
(holistik). Artinya, pendekatan kuantitatif berasumsi dengan mengamati perilaku
tampak (surface behavior) dan ucapan untuk mengambarkan manusia dan
dunianya, sedangkan kualitatif berasumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia
tidak cukup hanya dengan surface behavior, melainkan juuga
prespektif dalam diri dari perilaku manusia untuk memperoleh gambaran utuh
tentang manusia dan dunianya.
2.2.1
Pendekatan Kualitatif dalam Ilmu Sosial
dan Ilmu Alam
Mekipun
pendekatan ilmu alam dengan ilmu sosial memiliki sifat yang umum, sistematik
dan memiliki dalil tertentu tentang hubungan manusia, tetapi dalam beberapa hal
pendekatan ilmu sosial tidaklah sama dengan pendekatan ilmu alam. Ilmu alam
lebih tua, mantap, cukup trampil dan mempunyai unit pengukur yang sempurna
dibandingkan dengna ilmu sosial. Masalah ilmu sosial dalam penelitian adalah
tidak mungkinnya melakukan eksperimentasi yang jelas terhadap fenomena-fenomena
sosial, dengan melakukan replikasi dan kontrol yang tepat. Kesulitan lain,
peneliti sosial kurang mampu memprediksi dalam membuat ramalan terhadap masalah
sosial.
Perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, menurut Kartodirdjo (1993) juga
terjadi dalam ilmu kemanusiaan (humaniora). Sekitar abad ke-19 di Jerman,
timbul golongan neo-Kantianis yan dipelopori oleh Rickert, Windelband dan
Dilthey. Mereka berpendapat bahwa ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan berdiri
sendiri-sendiri.
2.2.2 Pendekatan
Kualitatif dalam Keagamaan
Adanya
pengelompokkan dalam ilmu-ilmu agama (Islam) mengindikasikan bahwa kompleksitas
permasalahan agama demikian rumitnya dan terinci, sehingga menjadi salah satu
penyebab kekurangmantapan dalam penelitian, dibandingkan dengan penelitian
ilmu-ilmu alam. Penelitian keagamaan dengan pendekatan kualitatif dapat dikaji
lewat tulisan Muhadjir (1988) yang memilah studi agama dalam tiga pendekatan,
yaitu: pendekatan teologik, antropologik dan fenomenologi. Pendekatan teologik
dalam kajian agama bertolak dari wahyu sebagai kebenaran mutlak (doktrin,
criteria kebenaran, postulat, aksioma dan premis mayor) dalam menguji kebenaran
sejumlah empirik. Pendekatan antropologik mendudukan agama sebagai gejala
sosial dan psikologis di mana pendekatan antropologik itu mengakui empat
kebenaran empirik, yaitu: empirik sensual (melalui indra dalam menangkap
gejala), empirik logik (ketajam pikiran), empirik etik (akal pikiran dan hati
nurani) dan empirik transendental (hati nurani dan keimanan).
2.3
Pertentangan Ilmu dan Agama
Agama
adalah jalan seseorang untuk berhubungan secara spiritual dengan Tuhan. Dengan
cara dan aturannya sendiri2 agama mengarahkan manusia untuk menuju Tuhan. Namun
sejarah gelap telah memberikan persepsi dalam diri kita mengenai pertentangan
agama dan ilmu pengetahuan. Kita tentu masih ingat ketika pada abad pertengahan
ilmuwan banyak yang dihukum lantaran penemuan mereka bertentangan dengan
doktrin agama (pernyataan yang dikeluarkan oleh lembaga agama sebagai kebenaran
mutlak yang harus diterima). Galileo Galilei dan Copernicus adalah ilmuwan yang
membangkitkan kemarahan Gereja. Penemuan mereka yang mengatakan jika matahari
adalah pusat tata surya (heliosentris) telah melanggar doktrin gereja. Gereja
mendoktrin jika bumi adalah pusat dari tata surya. Penemuan Galileo dan
Copernicus juga meberikan pengetahuan baru, bahwa bumi adalah bulat. Sementara
pada saat itu keyakinan gereja dan masyarakat mengatakan bahwa bumi adalah
lempengan. Dari situlah pertentangan gereja dengan ilmu pengetahuan memanas,
bahkan hingga sekarang. Gereja atau agama mengatakan ilmu pengetahuan adalah
kesombongan untuk menyamai Tuhan.
Jika ilmu pengetahuan
dianggap berdosa, untuk apa Tuhan mengkaruniakan pada masing2 dari kita akal
pikiran? Bukannya akal pikiran adalah karunia Tuhan yang tidak dimiliki oleh
makhlukNya selain manusia? Bukannya akal pikiran adalah alat u/ menemukan
jawaban dari ketidaktahuan kita? Pada intinya bahwa akal pikiran adalah sumber
dari pengetahuan bukan? Saatnya kita bangkit untuk meluruskan persepsi yang
keliru bahwa ilmu pengetahuan adalah musuh agama. Kini adalah jaman modern,
dimana kebenaran akan mengungkap segala mukjizat yang pernah Tuhan berikan pada
nabi2 dijaman dahulu, dengan harapan setelah kita menganalisisnya, kita semakin
percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan benar2 berkuasa atas segala sesuatu. Sudah
tidak jamannya lagi percaya mentah2 terhadap perkataan lembaga agama kita
masing2. Buktikanlah apa yang mereka katakan, baru kita percaya. Jangan asal
percaya jika belum membuktikan.
Teori
penciptaan alam semesta yang paling masuk akal adalah Big Bang. Big Bang adalah
ledakan maha besar dalam awal proses penciptaan alam semesta, dimana ketiadaan
menjadi ada. Materi yang semula tidak ada menjadi ada, lantas materi yang
dihasilkan membentuk benda2 langit, planet2, galaksi dan bumi kita ini. Alquran
mengatakan fenomena ini dalam kiasan: “Dan
apakah orang-orang yang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya.
Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tidak juga beriman?” (Q.S. Al-Anbiyya’: 30). Langit dan bumi dahulu
adalah suatu kesatuan yaitu ketiadaan, lantas dengan adanya ledakan besar (Big
Bang), mereka terpisah. Begitu pula dengan air sebagai sumber kehidupan. Air
adalah syarat dari terbentuknya kehidupan, tanpa air mustahil ada kehidupan.
Ketika foto satelit mendapati bekas aliran air di Mars, penelitian yang coba
membuktikan bahwa di Mars pernah ada kehidupan lantas dilakukan. Wajar jika
orang jaman dahulu tidak percaya dengan hal ini, karena pengetahuan mereka
masih dangkal. Jika sekarang ini, masihkah kita ingkar pada kebenaran ini,
kebenaran Alquran sebagai firman Tuhan?
Begitu
pula dengan penciptaan manusia. Manusia diciptakan dalam beberapa fase. Masih
ingat bukan pelajaran biologi saat SMP dan SMA dulu? Kita menjadi tahu
bagaimana proses pembentukan manusia dalam rahim ibu. Pengetahuan itu baru kita
dapatkan saat jaman modern sekarang ini. Mungkin saat jamannya Pangeran
Diponegoro dulu, orang2 belum tahu bagaimana detil proses penciptaan manusia,
jika dibandingkan dengan kita sekarang ini. Padahal pengetahuan ini sudah ada
sejak 1400 tahun lalu: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. (QS al-Mukminun : 12-14). Cukup
jelas bukan? Itukah yang kita pelajari dulu dalam pelajaran biologi? Jika
pengetahuan adalah musuh agama, mengapa kitab suci agama membawa pesan tentang
pengetahuan?
Contoh
terakhir adalah penunjuk arah pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu bintang
adalah penunjuk arah/ kompas yang akurat. Penggembala di padang rumput zaman
dahulu adalah masyarakat nomaden. Mereka dapat mengetahui arah mata angin hanya
dengan melihat rasi bintang. Mereka menggembalakan ternak mereka dengan mencari
padang rumput yang beratus2 kilo dari rumahnya. Dan untuk kembali ke rumah,
mereka melihat rasi bintang sebagai petunjuk arah. Begitu pula dengan para
pelaut, hingga kini mereka masih mempergunakan rasi bintang sebagai penunjuk
arah “Dan Dialah yang
menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam
kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda
kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui”. (Q.S. Al-An’aam: 97). Rasi
bintang sebagai penunjuk arah telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun
lalu sebagai pengetahuan yang sangat berguna. Mengapa mereka menggunakan rasi
bintang? Apa yang mendasari mereka melakukan hal itu? Mereka memiliki akal dan
pikiran, seperti kita. Akal dan pikiran inilah yang membuat mereka memakai rasi
bintang sebagai penunjuk arah, mereka memiliki akal dan pikiran seperti kita para
manusia modern untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan.
Dari
contoh diatas dapat disimpulkan, bahwa Allah, Tuhan Semesta Alam telah
mewahyukan kepada manusia perihal ilmu pengetahuan. Pengetahuan berasal dari
Allah. Jika agama adalah jalan untuk menuju Allah, Tuhan kita, sementara
pengetahuan adalah karunia Allah kepada kita sebagai Makhluk yang berpikir,
maka bagaimana mungkin jalan menuju Allah dan karunia dari Allah bisa
bermusuhan? Seharusnya berkaitan, tidak bertentangan. Banyak alasan mengapa agama
menganggap ilmu pengetahuan bertentangan. Faktor terkuat adalah kebodohan.
Manusia zaman dahulu belum sepandai sekarang, sehingga pemahaman akan fenomena
alam masih sangat terbatas. Pemahaman yang terbatas ini dijadikan alat politik
agama yang harus dipatuhi (doktrin), sehingga pada akhirnya cara untuk menuju
Tuhan melalui agama yaitu iman dan melalui pengetahuan yaitu logika menjadi
bertentangan. Agama menganggap metode yang mereka miliki adalah satu-satunya
cara yang benar untuk menuju Tuhan, yaitu hanya dengan sekedar atau harus
bahkan dipaksa percaya pada apa yang dikatakan lembaga agama dan kitab suci.
Hal inilah yang membuat seseorang menjadi dogmatis, fanatik, dan merasa telah
menjadi orang yang religius, walaupun pada kenyataannya dia tidak pernah
membuktikan kebenaran agamanya. Iman adalah percaya, walaupun tidak ada alasan
untuk percaya, kira-kira demikian. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan, dengan
kemampuan berpikirnya manusia seolah menjadi merasa hebat, dan tidak perlu lagi
percaya pada Tuhan. Pengetahuan lebih nyata dan bisa dibuktikan, daripada
membuktikan apakah Tuhan itu ada, kurang lebih demikian pendapat golongan ini.
2.4 Sintesis
Ilmu dan Agama
Pertemuan
sains dan agama pada dasarnya tidaklah selalu mengkerucut ke dalam anggapan
akan pertemuan dua ranah yang berbeda, sebab keduanya seolah membaur dalam
keseharian yang hampir tidak dapat dicerna secara terpilah. Bahkan untuk
menentukan manakah dari keduanya yang lebih dulu merasuki kehidupan manusia,
juga tidaklah pernah mendapat jawabannya yang pasti. Dalam hal ini tentu
istilah sains dan agama sendiri lebih dirujukkan pada pengertian awalnya yakni;
yang pertama, penyelidikan dan penafsiran atas semesta hingga bisa diketahui
jawaban dari pelbagai fenomena yang terjadi, dan yang kedua sikap dan pemikiran
yang menempatkan rasa ketuhanan dalam kehidupan. Namun, membahas sains dan
agama dengan melibatkan seluruh historiografi pengetahuan dan religiusitas
manusia, tentu di sini bukanlah tempat yang tepat mengingat banyaknya data yang
dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini.
Henry
Smith Williams dalam “A
History of Science”, misalnya, telah menunjukkan pada kita bahwa
sains dalam pengertian itu sebenarnya telah ada dalam masa yang hampir tidak
bisa dipastikan usulnya, terkecuali dengan mengadakan pemotongan data historis
tentang perkembangan mula sains. Mengingat bahwa istilah sains sendiri adalah
istilah yang selalu berdengung dalam keseharian kita, meskipun belum tentu
setiap orang bisa menjelaskannya dengan baik, maka uraian tentang istilah sains
sendiri mutlak diperlukan.
Melacak
perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret
kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal
inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani
oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya
dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat.
Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama
lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru
tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat
fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti
dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat
analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya
perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan
Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis,
epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya
saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut,
tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran
filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain.
Tradisi
baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi
perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita
lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran
filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan
dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang
religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al
Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan
terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”.
Kemunculan
Darwin pada abad 19 dengan teori evolusinya adalah persoalan yang paling
mendapatkan sorotan dalam kerangka pertemuan sains dan agama. Sebab, apa yang
dikemukakan oleh evidensi empiris Darwin benar-benar mengguncang hampir
keseluruhan kerangka doktrinal agama. Dalam hal ini, Ian G. Barbour sendiri
menyebutkan bahwa ada 3 isu utama yang berkembang seiring dengan kelahiran
teori evolusi Darwin yaitu: 1) tantangan
terhadap literalisme biblikal; 2) tantangan terhadap martabat manusia, dan; 3) tantangan atas desain ilahi.
Pada yang pertama,
teori evolusi dijelaskan sebagai pandangan yang mengandung gagasan semisal
tentang adanya perubahan evolusioner dalam perjalanan penciptaan alam semesta
yang memakan kurun waktu yang lama (jutaan tahun) dan tentu saja berlawanan
dengan diktrin kitab suci yang menyatakan bahwa penciptaan dilangsungkan dalam
hitungan saat yang sebentar: tujuh hari.
Beberapa
kecenderungan yang mulai lahir di masyarakat modern, bahkan merupakan terusan
penting penyikapan atas fenomena modernitas yang digugat. Bangkitnya
jenis-jenis spiritualitas baru hingga diliriknya bentuk-bentuk kearifan dan
ajaran-ajaran kuno (juga dalam kalangan ilmuwan sendiri), adalah rentetan upaya
manusia modern untuk mengobati perihal krisis yang telah disebabkan oleh cara
pandang paradigma modern. Point-point penting dari fenomena-fenomena tersebut
yang perlu digaris bawahi kemudian adalah, a) timbulnya gugatan atas paradigma
modern; b) adanya perkembangan baru dalam hubungan sains dan agama disebabkan
beberapa temuan baru dalam dunia sains seolah mengisyaratkan dikembalikannya
Tuhan dalam sains modern; serta c) mulai dirumuskannya bentuk-bentuk teologi
yang lebih berafiliasi dengan interpretasi filosofis sains modern.
Berkaitan
dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka
adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi
sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog
antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern
serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling mempertimbangkan.
Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa melepaskan perhatian
akan tetap adanya sikap mempertahankan materialisme-ateistis dalam penafsiran
para ilmuwan dalam sains modern, serta konservatisme sebagian kalangan teolog
dalam memandang logika keduanya. Namun, secara umum kecenderungan yang terjadi
mengarah pada sisi positif hubungan keduanya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam ilmu
pengetahuan, pendekatan kualiatif dan kuantitatif bukan hanya sekedar dibedakan
dalam cara pengumpulan dan pengolahan datanya, melainkan keduanya berbeda secara konseptual dalam "melihat dunia".
Paradikma kuantitatif melihat dunia sebagai suatu kebulatan (holistik).
Artinya, pendekatan kuantitatif berasumsi dengan mengamati perilaku tampak (surface
behavior) dan ucapan untuk mengambarkan manusia dan dunianya, sedangkan
kualitatif berasumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia tidak cukup hanya
dengan surface behavior, melainkan juuga prespektif dalam diri
dari perilaku manusia untuk memperoleh gambaran utuh tentang manusia dan
dunianya. Penelitian keagamaan dengan pendekatan
kualitatif dapat dikaji lewat tulisan Muhadjir (1988) yang memilah studi agama
dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan teologik, antropologik dan
fenomenologi.
Banyak
alasan mengapa agama menganggap ilmu pengetahuan bertentangan. Manusia zaman
dahulu belum sepandai sekarang, sehingga pemahaman akan fenomena alam masih
sangat terbatas. Pemahaman yang terbatas ini dijadikan alat politik agama yang
harus dipatuhi (doktrin), sehingga pada akhirnya cara untuk menuju Tuhan
melalui agama yaitu iman dan melalui pengetahuan yaitu logika menjadi
bertentangan. Agama menganggap metode yang mereka miliki adalah satu-satunya
cara yang benar untuk menuju Tuhan, yaitu hanya dengan sekedar atau harus
bahkan dipaksa percaya pada apa yang dikatakan lembaga agama dan kitab suci.
Hal inilah yang membuat seseorang menjadi dogmatis, fanatik, dan merasa telah
menjadi orang yang religius, walaupun pada kenyataannya dia tidak pernah
membuktikan kebenaran agamanya. Iman adalah percaya, walaupun tidak ada alasan
untuk percaya, kira-kira demikian. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan, dengan
kemampuan berpikirnya manusia seolah menjadi merasa hebat, dan tidak perlu lagi
percaya pada Tuhan. Pengetahuan lebih nyata dan bisa dibuktikan, daripada
membuktikan apakah Tuhan itu ada, kurang lebih demikian pendapat golongan ini.
Berkaitan
dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka
adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi
sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog
antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern
serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling
mempertimbangkan. Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa
melepaskan perhatian akan tetap adanya sikap mempertahankan
materialisme-ateistis dalam penafsiran para ilmuwan dalam sains modern, serta
konservatisme sebagian kalangan teolog dalam memandang logika keduanya. Namun,
secara umum kecenderungan yang terjadi mengarah pada sisi positif hubungan
keduanya.
ilmu
pengetahuan akan selalu berjalan seiringan dangan agama. agama selalu menjadi
pedoman dalam setiap kegiatan yang kita lakukan.
3.2 Saran
Tuhan Semesta Alam
telah mewahyukan kepada manusia perihal ilmu pengetahuan. Pengetahuan berasal
dari Allah. Jika agama adalah jalan untuk menuju Allah, Tuhan kita, sementara
pengetahuan adalah karunia Allah kepada kita sebagai Makhluk yang berpikir,
maka bagaimana mungkin jalan menuju Allah dan karunia dari Allah bisa
bermusuhan? Karena itulah ilmu
pengetahuan seharusnya selalu
berjalan seiringan dangan agama. Agama
seharusnya menjadi pedoman dalam setiap
kegiatan yang kita lakukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar