Kamis, 08 November 2012

Makalah ilmiah ILMU PENGETAHUAN MODERN DAN AGAMA

Makalah ilmiah ILMU PENGETAHUAN MODERN DAN AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
            1.1       Latar Belakang
Dalam perkembangannya, Iptek acap kali berbenturan atau dibenturkan dengan agama yang berakibat pada kegagalannya dalam misi kemanusian yang dilandasi pada bingkai humanis , demokratis dan berkeadilan. Distorsi ini juga dapat dialami oleh profesi pekerjaan sosial sebagai aktivitas kemanusiaan yang abai terhadap nilai-nilai keagamaan di satu sisi dan misi  kemanusiaan oleh agama yang tidak dibingkai oleh keilmuan pada sisi yang lain.
Integrasi antara keduanya dalam praktek pekerjaan sosial merupakan sebuah keharusan sebab pendekatan moderen dan agama dalam praktek pekerjaan sosial merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Modernitas dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negativnya terlihat ketika ilmu  pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan saja.  Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis - empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya masalah baru   yang lebih kompleks. Dari sanalah kita harus mengetahui seluk beluk mengenai  ilmu pengetahuan modern dan agama. Makalah ini akan membahas masalah-masalah mengenai perbedaan pendekatan ilmu pengetahuan modern dan agama, pertentangan ilmu dan agama, serta sintesis ilmu dan agama.
.2.        Identifikasi Masalah
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama. Selain itu terdapat pula pertentangan antara Ilmu dan Agama dan Sintesis Ilmu agama. Dari latar belakang diatas, masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.         Ilmu pengetahuan modern dan agama
2.         Apa saja perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama
3.         Apasaja pertentangan yang terdapat antara ilmu dan agama
4.         Apakah sintesis ilmu dan agama
1.3       Tujuan
Makalah  ini bertujuan untuk
1.         Ilmu pengetahuan modern dan agama
2.         Mengetahui perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama
3.         Memaparkan pertentangan yang terdapat antara ilmu dan agama
4.         Mengetahui sintesis ilmu dan agama
1.4       Pembatasan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah diatas,masalah dapat dibatasi sebagai berikut.
1.         Ilmu pengetahuan modern dan agama
2.         Perbedaan pendekatan Ilmu dan agama
3.         Pertentangan antara ilmu dan agama
4.         Sintesis ilmu dan agama
1.5       Sistematika Penulisan
Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai pengertian dan perbedaan ilmu dan agama, identifikasi masalah mengenai ilmu pengetahuan modern dan agama, tujuan dibuatnya makalah, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI
Kajian Teori berisikan pengertian dan perbedaan pendekatan antara ilmu dan agama,  pertentangan Ilmu dan Agama, serta Sintesis ilmu dan agama.
BAB III KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1       Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama
Ilmu pengetahuan modern memandang sifat,metode,struktur sain,dan agama jauh berbeda,kalau tidak mau dikatakan kontradiktif Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya) sedangkan sain meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya).Agama melihat problematia dan solusinya melalui petunjuk Tuhan,sedangkan sains melalui eksperimen dan ratio manusia.Karena ajaran agam diyakini sebagai petunjuk Tuhan,kebenarannya dinilai mutlak,sedanghkan kebenaran sains bersifat relatif.Agama banyak berbincang tentang yang gaib,sementara sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris(Poejawijatna,1983:62-73; Hatta,1979:40-41 ;dan Russel,1953:7-18) .
Menurut pandangan umum,pengetahuan ilmiah bersifat relatif,berubah dari waktu kewaktu,sedangkan pengetahuan agama bersifat absolut dan dogmatis.Anggapan ini akan memperbesar jurang pemisah antara ilmu dan agama.Auguste Comte (1789-1857) memandang tahap berfikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat.Menurutnya cara berfikir teologis berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi,seperti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu,sedangkan tahap berfikir positif adalah tahap yang paling maju.Salah satu arti positif itu menurut Comte adalah yang relatif,tidak yang absolut.Masyarakat yang berfikir positif adalah masyarakat yang berpaham bahwa pengetahuan yang benar adalah yang didapatkan dari motode ilmiah,yaitu pengetahuan yang didasarkan kepada fakta,serta dapat ditinjau dan diuji lagi (Veeger,1986:17).
Kemajuan dunia barat bermula dari keberhasilannya mendobrak dominasi dominasi gereja dalam bidang ilmu pengetahuan dan tata hidup bermasyarakat.Dalam perebutan pengaruh antara ilimu teknologi dan negara disatu pihak dengan gereja dilain pihak munculah paham sekuler dalam pengembangan ilmu dan budaya.Gereja secara khusus dan agama secara umum dipisahkan dari arena ilmu,teknologi dan penataan kehidupan bermasyarakat.Wewenang dan ruang lingkup agama adalah hubungan pribadi antara manusia denga Tuhannya,sedangkan wewenang dan ruang lingkup ilmu dan negara adalah segala fenomena kehidupan empiris,pengolahan alam dan tata kehidupan sosial.Populerlah adanya dua macam kehidupan,yaitu kehidupan beragama dan kehidupan duniawi.Demikian pula ilmu pengetahuan,ada ilmu – ilmu agama dan ada pula ilmu-ilmu umum.
Teologi pembebasan (liberation theologi) yang lahir di Amerika Latin yang merasa paling dalam dan langsung dalam cengkeraman kapitalisme dan Neo-liberalisme AS. Dan baru-baru ini, dengan mengusung teologi pembebasan, Hugo berhasil terpilih menjadi Presiden Chili yang memakai gaya politik yang berbeda dengan Hugo Chavez dari Venezuela dan Evo Morales
dari Bolivia yang lebih kiri-radikal dan Marxis itu
2.2       Perbedaan  Pendekatan Ilmu Pengetahuan dan Agama
            Membicarakan dua kontinum yan berbeda dari dua sisi yang berbeda pula bukanlah perkara yang sederhana. Pertama, ilmu-ilmu sosial merupakan suatu kontinum yang berkembang dari trdisi positivisme, empirisisme dan rasionalisme. Pandagan-pandangan ini berakar dari filsafat materialisme dan naturalisme. Inti pandangan positivisme adalah bahwa sains hanya berurusan dengan gejala-gejala atau pengalaman yang dapat diamati (Raharjo dalam Abdullah & Karim, 1989). Sebaliknya, agama merupakan fenomena yang dipandang sebagai system ilahiah (divine system), yang menurut Durkheim dibagi dalam keyakinan (beliefs) dan pengamalan (practices).
            Kedua, meskipun setiap penelitian mensyaratkan adanya metode yang ketat, yang secara disiplin berpegang teguh pada aturan-aturan tertentu agar mencapai hasil yang obyektif, kemudian membatasi kekeliruan atas kesalahan dalam megumpulkan data, dan adanya keharusan mempublikasikan hasil penelitian untuk diuji (Ary, Jacobs & Razavivieh, 1985; Nasution, 1988). Namun demikian, pendekatan kuantitatif denagn kualitatif merupakan pendekatan yang berbeda (Bogdan & Taylor, 1975; Patton, 1980). Perbedaan yang mendasar di antara keduanya terdapat pada paradigama yang digunakan (Patton, 1980).
            Paradigma menurut Paton (1980) merupakan suatu pandangan, suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan arti dan penafsiran. Pengertian ini menunjukkan bahwa paradigma bukan hanya sekedar orientasi metodologi melainkan juga membicarakan perspektif, asumsi yang mendasari, generalisasi-generalisasi, nilai, keyakinan, atau suatu "disciplinary matrix" yang kompleks (Khun dikutip Soegiyanto, 1989).
            Menurut Soegiyanto (1989)perbedaan antara paradigma kuantitatif denga kualitatif dapat dilihat pada argumentasi klasik dalam filsafat realismedan idealisme. Pertnayaan dipusatkan pada hubungan antara dunia luar dengan proses mengetahui.
            Jika perkembangan sains pada abad 15 dan 16 didasarkan pada aliran realisme atau logico-positivism, maka pada abad 18 dan 19 terjadi perubahan sosial yang mempertanyakan logika dan metode sains untuk memahami manusia dan dunianya.pertentangan dalam dasar filsafat tentang sifat kehidupan sosial inilah yang sesungguhnya membedakan paradigma kuantitatif dengan kualitatif. Paradigma kuantitatif dalam memandang kehidupan sosial memprgunakan asumsi-asumsi mekanistik dan statistic dari aliran positivisme ilmu kealaman sebagaimana dikemukakan oleh Sjoberg dan Nett (1966) didasarkan pada asumsi bahwa:
(1) ilmuan memperoeh ilmu pengetahuan obyektif tentang dunia fisik maupun sosial secara otomatik;
(2) ilmu a lam maupun sosial dasar metodologisnya sama buakn karena persamaan factor subyek melainkan keduanya mempertguanakan logka penyelidikan yan sama dan prosedur penelitian yan sama pula;
(3) baha susunan alam dan sosial bersifat mekanistik.
            Sedankan paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistic untuk memahami realitas sosial para idealis. Kehidupan sosial dipandang sebagai kreativitas bersama individu-individu. Kemudian, dunia sosial daingap tidaklah statis tetapi dinamis (Popper, 1980). Paradigma kualitatif mengasumsikan bahwa realitas itu bersifat ganda dan kompleks, satu sama lainnya saling berkait sehinga merupakan kesatuan yang bulat dan bersifat holistic (Patton, 1980).
            Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kualiatif dan kuantitatif bukan hanya sekedar dibedakan dalam cara pengumpulan dan pengolahan datanya, malinkan keduanya berbeda secara konseptual dalam "melihat dunia". Paradikma kuantitatif melihat dunia sebagai suatu kebulatan (holistik). Artinya, pendekatan kuantitatif berasumsi dengan mengamati perilaku tampak (surface behavior) dan ucapan untuk mengambarkan manusia dan dunianya, sedangkan kualitatif berasumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia tidak cukup hanya dengan surface behavior, melainkan  juuga prespektif dalam diri dari perilaku manusia untuk memperoleh gambaran utuh tentang manusia dan dunianya.
2.2.1 Pendekatan Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Alam
Mekipun pendekatan ilmu alam dengan ilmu sosial memiliki sifat yang umum, sistematik dan memiliki dalil tertentu tentang hubungan manusia, tetapi dalam beberapa hal pendekatan ilmu sosial tidaklah sama dengan pendekatan ilmu alam. Ilmu alam lebih tua, mantap, cukup trampil dan mempunyai unit pengukur yang sempurna dibandingkan dengna ilmu sosial. Masalah ilmu sosial dalam penelitian adalah tidak mungkinnya melakukan eksperimentasi yang jelas terhadap fenomena-fenomena sosial, dengan melakukan replikasi dan kontrol yang tepat. Kesulitan lain, peneliti sosial kurang mampu memprediksi dalam membuat ramalan terhadap masalah sosial.
            Perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, menurut Kartodirdjo (1993) juga terjadi dalam ilmu kemanusiaan (humaniora). Sekitar abad ke-19 di Jerman, timbul golongan neo-Kantianis yan dipelopori oleh Rickert, Windelband dan Dilthey. Mereka berpendapat bahwa ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan berdiri sendiri-sendiri.
2.2.2   Pendekatan Kualitatif dalam Keagamaan
            Adanya pengelompokkan dalam ilmu-ilmu agama (Islam) mengindikasikan bahwa kompleksitas permasalahan agama demikian rumitnya dan terinci, sehingga menjadi salah satu penyebab kekurangmantapan dalam penelitian, dibandingkan dengan penelitian ilmu-ilmu alam. Penelitian keagamaan dengan pendekatan kualitatif dapat dikaji lewat tulisan Muhadjir (1988) yang memilah studi agama dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan teologik, antropologik dan fenomenologi. Pendekatan teologik dalam kajian agama bertolak dari wahyu sebagai kebenaran mutlak (doktrin, criteria kebenaran, postulat, aksioma dan premis mayor) dalam menguji kebenaran sejumlah empirik. Pendekatan antropologik mendudukan agama sebagai gejala sosial dan psikologis di mana pendekatan antropologik itu mengakui empat kebenaran empirik, yaitu: empirik sensual (melalui indra dalam menangkap gejala), empirik logik (ketajam pikiran), empirik etik (akal pikiran dan hati nurani) dan empirik transendental (hati nurani dan keimanan).
2.3 Pertentangan Ilmu dan Agama
Agama adalah jalan seseorang untuk berhubungan secara spiritual dengan Tuhan. Dengan cara dan aturannya sendiri2 agama mengarahkan manusia untuk menuju Tuhan. Namun sejarah gelap telah memberikan persepsi dalam diri kita mengenai pertentangan agama dan ilmu pengetahuan. Kita tentu masih ingat ketika pada abad pertengahan ilmuwan banyak yang dihukum lantaran penemuan mereka bertentangan dengan doktrin agama (pernyataan yang dikeluarkan oleh lembaga agama sebagai kebenaran mutlak yang harus diterima). Galileo Galilei dan Copernicus adalah ilmuwan yang membangkitkan kemarahan Gereja. Penemuan mereka yang mengatakan jika matahari adalah pusat tata surya (heliosentris) telah melanggar doktrin gereja. Gereja mendoktrin jika bumi adalah pusat dari tata surya. Penemuan Galileo dan Copernicus juga meberikan pengetahuan baru, bahwa bumi adalah bulat. Sementara pada saat itu keyakinan gereja dan masyarakat mengatakan bahwa bumi adalah lempengan. Dari situlah pertentangan gereja dengan ilmu pengetahuan memanas, bahkan hingga sekarang. Gereja atau agama mengatakan ilmu pengetahuan adalah kesombongan untuk menyamai Tuhan.
Jika ilmu pengetahuan dianggap berdosa, untuk apa Tuhan mengkaruniakan pada masing2 dari kita akal pikiran? Bukannya akal pikiran adalah karunia Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhlukNya selain manusia? Bukannya akal pikiran adalah alat u/ menemukan jawaban dari ketidaktahuan kita? Pada intinya bahwa akal pikiran adalah sumber dari pengetahuan bukan? Saatnya kita bangkit untuk meluruskan persepsi yang keliru bahwa ilmu pengetahuan adalah musuh agama. Kini adalah jaman modern, dimana kebenaran akan mengungkap segala mukjizat yang pernah Tuhan berikan pada nabi2 dijaman dahulu, dengan harapan setelah kita menganalisisnya, kita semakin percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan benar2 berkuasa atas segala sesuatu. Sudah tidak jamannya lagi percaya mentah2 terhadap perkataan lembaga agama kita masing2. Buktikanlah apa yang mereka katakan, baru kita percaya. Jangan asal percaya jika belum membuktikan.
Teori penciptaan alam semesta yang paling masuk akal adalah Big Bang. Big Bang adalah ledakan maha besar dalam awal proses penciptaan alam semesta, dimana ketiadaan menjadi ada. Materi yang semula tidak ada menjadi ada, lantas materi yang dihasilkan membentuk benda2 langit, planet2, galaksi dan bumi kita ini. Alquran mengatakan fenomena ini dalam kiasan: “Dan apakah orang-orang yang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (Q.S. Al-Anbiyya’: 30). Langit dan bumi dahulu adalah suatu kesatuan yaitu ketiadaan, lantas dengan adanya ledakan besar (Big Bang), mereka terpisah. Begitu pula dengan air sebagai sumber kehidupan. Air adalah syarat dari terbentuknya kehidupan, tanpa air mustahil ada kehidupan. Ketika foto satelit mendapati bekas aliran air di Mars, penelitian yang coba membuktikan bahwa di Mars pernah ada kehidupan lantas dilakukan. Wajar jika orang jaman dahulu tidak percaya dengan hal ini, karena pengetahuan mereka masih dangkal. Jika sekarang ini, masihkah kita ingkar pada kebenaran ini, kebenaran Alquran sebagai firman Tuhan?
Begitu pula dengan penciptaan manusia. Manusia diciptakan dalam beberapa fase. Masih ingat bukan pelajaran biologi saat SMP dan SMA dulu? Kita menjadi tahu bagaimana proses pembentukan manusia dalam rahim ibu. Pengetahuan itu baru kita dapatkan saat jaman modern sekarang ini. Mungkin saat jamannya Pangeran Diponegoro dulu, orang2 belum tahu bagaimana detil proses penciptaan manusia, jika dibandingkan dengan kita sekarang ini. Padahal pengetahuan ini sudah ada sejak 1400 tahun lalu: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. (QS al-Mukminun : 12-14). Cukup jelas bukan? Itukah yang kita pelajari dulu dalam pelajaran biologi? Jika pengetahuan adalah musuh agama, mengapa kitab suci agama membawa pesan tentang pengetahuan?
Contoh terakhir adalah penunjuk arah pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu bintang adalah penunjuk arah/ kompas yang akurat. Penggembala di padang rumput zaman dahulu adalah masyarakat nomaden. Mereka dapat mengetahui arah mata angin hanya dengan melihat rasi bintang. Mereka menggembalakan ternak mereka dengan mencari padang rumput yang beratus2 kilo dari rumahnya. Dan untuk kembali ke rumah, mereka melihat rasi bintang sebagai petunjuk arah. Begitu pula dengan para pelaut, hingga kini mereka masih mempergunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui”. (Q.S. Al-An’aam: 97). Rasi bintang sebagai penunjuk arah telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun lalu sebagai pengetahuan yang sangat berguna. Mengapa mereka menggunakan rasi bintang? Apa yang mendasari mereka melakukan hal itu? Mereka memiliki akal dan pikiran, seperti kita. Akal dan pikiran inilah yang membuat mereka memakai rasi bintang sebagai penunjuk arah, mereka memiliki akal dan pikiran seperti kita para manusia modern untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan, bahwa Allah, Tuhan Semesta Alam telah mewahyukan kepada manusia perihal ilmu pengetahuan. Pengetahuan berasal dari Allah. Jika agama adalah jalan untuk menuju Allah, Tuhan kita, sementara pengetahuan adalah karunia Allah kepada kita sebagai Makhluk yang berpikir, maka bagaimana mungkin jalan menuju Allah dan karunia dari Allah bisa bermusuhan? Seharusnya berkaitan, tidak bertentangan. Banyak alasan mengapa agama menganggap ilmu pengetahuan bertentangan. Faktor terkuat adalah kebodohan. Manusia zaman dahulu belum sepandai sekarang, sehingga pemahaman akan fenomena alam masih sangat terbatas. Pemahaman yang terbatas ini dijadikan alat politik agama yang harus dipatuhi (doktrin), sehingga pada akhirnya cara untuk menuju Tuhan melalui agama yaitu iman dan melalui pengetahuan yaitu logika menjadi bertentangan. Agama menganggap metode yang mereka miliki adalah satu-satunya cara yang benar untuk menuju Tuhan, yaitu hanya dengan sekedar atau harus bahkan dipaksa percaya pada apa yang dikatakan lembaga agama dan kitab suci. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi dogmatis, fanatik, dan merasa telah menjadi orang yang religius, walaupun pada kenyataannya dia tidak pernah membuktikan kebenaran agamanya. Iman adalah percaya, walaupun tidak ada alasan untuk percaya, kira-kira demikian. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berpikirnya manusia seolah menjadi merasa hebat, dan tidak perlu lagi percaya pada Tuhan. Pengetahuan lebih nyata dan bisa dibuktikan, daripada membuktikan apakah Tuhan itu ada, kurang lebih demikian pendapat golongan ini.
2.4 Sintesis Ilmu dan Agama
Pertemuan sains dan agama pada dasarnya tidaklah selalu mengkerucut ke dalam anggapan akan pertemuan dua ranah yang berbeda, sebab keduanya seolah membaur dalam keseharian yang hampir tidak dapat dicerna secara terpilah. Bahkan untuk menentukan manakah dari keduanya yang lebih dulu merasuki kehidupan manusia, juga tidaklah pernah mendapat jawabannya yang pasti. Dalam hal ini tentu istilah sains dan agama sendiri lebih dirujukkan pada pengertian awalnya yakni; yang pertama, penyelidikan dan penafsiran atas semesta hingga bisa diketahui jawaban dari pelbagai fenomena yang terjadi, dan yang kedua sikap dan pemikiran yang menempatkan rasa ketuhanan dalam kehidupan. Namun, membahas sains dan agama dengan melibatkan seluruh historiografi pengetahuan dan religiusitas manusia, tentu di sini bukanlah tempat yang tepat mengingat banyaknya data yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian ini.
Henry Smith Williams dalam “A History of Science”, misalnya, telah menunjukkan pada kita bahwa sains dalam pengertian itu sebenarnya telah ada dalam masa yang hampir tidak bisa dipastikan usulnya, terkecuali dengan mengadakan pemotongan data historis tentang perkembangan mula sains. Mengingat bahwa istilah sains sendiri adalah istilah yang selalu berdengung dalam keseharian kita, meskipun belum tentu setiap orang bisa menjelaskannya dengan baik, maka uraian tentang istilah sains sendiri mutlak diperlukan.
Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain.
Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”.
Kemunculan Darwin pada abad 19 dengan teori evolusinya adalah persoalan yang paling mendapatkan sorotan dalam kerangka pertemuan sains dan agama. Sebab, apa yang dikemukakan oleh evidensi empiris Darwin benar-benar mengguncang hampir keseluruhan kerangka doktrinal agama. Dalam hal ini, Ian G. Barbour sendiri menyebutkan bahwa ada 3 isu utama yang berkembang seiring dengan kelahiran teori evolusi Darwin yaitu: 1) tantangan terhadap literalisme biblikal; 2) tantangan terhadap martabat manusia, dan; 3) tantangan atas desain ilahi. Pada yang pertama, teori evolusi dijelaskan sebagai pandangan yang mengandung gagasan semisal tentang adanya perubahan evolusioner dalam perjalanan penciptaan alam semesta yang memakan kurun waktu yang lama (jutaan tahun) dan tentu saja berlawanan dengan diktrin kitab suci yang menyatakan bahwa penciptaan dilangsungkan dalam hitungan saat yang sebentar: tujuh hari.
Beberapa kecenderungan yang mulai lahir di masyarakat modern, bahkan merupakan terusan penting penyikapan atas fenomena modernitas yang digugat. Bangkitnya jenis-jenis spiritualitas baru hingga diliriknya bentuk-bentuk kearifan dan ajaran-ajaran kuno (juga dalam kalangan ilmuwan sendiri), adalah rentetan upaya manusia modern untuk mengobati perihal krisis yang telah disebabkan oleh cara pandang paradigma modern. Point-point penting dari fenomena-fenomena tersebut yang perlu digaris bawahi kemudian adalah, a) timbulnya gugatan atas paradigma modern; b) adanya perkembangan baru dalam hubungan sains dan agama disebabkan beberapa temuan baru dalam dunia sains seolah mengisyaratkan dikembalikannya Tuhan dalam sains modern; serta c) mulai dirumuskannya bentuk-bentuk teologi yang lebih berafiliasi dengan interpretasi filosofis sains modern.
Berkaitan dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling mempertimbangkan. Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa melepaskan perhatian akan tetap adanya sikap mempertahankan materialisme-ateistis dalam penafsiran para ilmuwan dalam sains modern, serta konservatisme sebagian kalangan teolog dalam memandang logika keduanya. Namun, secara umum kecenderungan yang terjadi mengarah pada sisi positif hubungan keduanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam ilmu pengetahuan, pendekatan kualiatif dan kuantitatif bukan hanya sekedar dibedakan dalam cara pengumpulan dan pengolahan datanya, melainkan keduanya berbeda secara konseptual dalam "melihat dunia". Paradikma kuantitatif melihat dunia sebagai suatu kebulatan (holistik). Artinya, pendekatan kuantitatif berasumsi dengan mengamati perilaku tampak (surface behavior) dan ucapan untuk mengambarkan manusia dan dunianya, sedangkan kualitatif berasumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia tidak cukup hanya dengan surface behavior, melainkan  juuga prespektif dalam diri dari perilaku manusia untuk memperoleh gambaran utuh tentang manusia dan dunianya. Penelitian keagamaan dengan pendekatan kualitatif dapat dikaji lewat tulisan Muhadjir (1988) yang memilah studi agama dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan teologik, antropologik dan fenomenologi.
Banyak alasan mengapa agama menganggap ilmu pengetahuan bertentangan. Manusia zaman dahulu belum sepandai sekarang, sehingga pemahaman akan fenomena alam masih sangat terbatas. Pemahaman yang terbatas ini dijadikan alat politik agama yang harus dipatuhi (doktrin), sehingga pada akhirnya cara untuk menuju Tuhan melalui agama yaitu iman dan melalui pengetahuan yaitu logika menjadi bertentangan. Agama menganggap metode yang mereka miliki adalah satu-satunya cara yang benar untuk menuju Tuhan, yaitu hanya dengan sekedar atau harus bahkan dipaksa percaya pada apa yang dikatakan lembaga agama dan kitab suci. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi dogmatis, fanatik, dan merasa telah menjadi orang yang religius, walaupun pada kenyataannya dia tidak pernah membuktikan kebenaran agamanya. Iman adalah percaya, walaupun tidak ada alasan untuk percaya, kira-kira demikian. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berpikirnya manusia seolah menjadi merasa hebat, dan tidak perlu lagi percaya pada Tuhan. Pengetahuan lebih nyata dan bisa dibuktikan, daripada membuktikan apakah Tuhan itu ada, kurang lebih demikian pendapat golongan ini.
Berkaitan dengan persoalan bagaimana terusan nasib hubungan antara sains dan agama, maka adanya pelbagai rekonstruksi konsep filosofis dari sains modern dan teologi sendiri, seolah membuka cakrawala baru bagi semakin tersedianya ruang dialog antar keduanya. Sebab, formula filosofis baru yang ditawarkan oleh sains modern serta perkembangan pemikiran teologis, memang menuai karakteristik yang saling mempertimbangkan. Meskipun disamping itu, tentu saja kita juga tidak bisa melepaskan perhatian akan tetap adanya sikap mempertahankan materialisme-ateistis dalam penafsiran para ilmuwan dalam sains modern, serta konservatisme sebagian kalangan teolog dalam memandang logika keduanya. Namun, secara umum kecenderungan yang terjadi mengarah pada sisi positif hubungan keduanya.
ilmu pengetahuan akan selalu berjalan seiringan dangan agama. agama selalu menjadi pedoman dalam setiap kegiatan yang kita lakukan.
3.2       Saran
Tuhan Semesta Alam telah mewahyukan kepada manusia perihal ilmu pengetahuan. Pengetahuan berasal dari Allah. Jika agama adalah jalan untuk menuju Allah, Tuhan kita, sementara pengetahuan adalah karunia Allah kepada kita sebagai Makhluk yang berpikir, maka bagaimana mungkin jalan menuju Allah dan karunia dari Allah bisa bermusuhan? Karena itulah ilmu pengetahuan seharusnya selalu berjalan seiringan dangan agama. Agama seharusnya menjadi pedoman dalam setiap kegiatan yang kita lakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar